Tagged: Unfanfiction

Dead

Aku tidak dapat merasakan tubuhku. Aku dimana? Pandanganku menghitam. Semuanya buram. Samar-samar kudengar seseorang berteriak, siapa itu? Entah kenapa aku merasa ngantuk sekali. Aku tidak dapat melihat, semuanya menjadi hitam. Ada apa?

***

“Jadi, kamu tidak bisa main basket lagi dong?” pertanyaan itu membuatku kaku. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Sedetik. Dua detik. Akhirnya di menit terakhir, aku pura-pura tersenyum dan menjawab dengan suara parau, “Yaah, mau bagaimana lagi.”
Aku membalikan badan secepatnya. Memangnya siapa dia? Teganya berkata begitu. Aku bahkan tidak kenal dengannya, Kanya Shintiadewi. Lihat saja penampilannya, culun! Kemana-mana ia selalu membawa “properti” lengkap. Kacamata super tebal, buku science fiction yang hanya dibaca oleh kalangan kutu buku seperti dia. Belum lagi cara berpakaiannya, ia meletakkan roknya di perut, baju seragam tidak pernah keluar, seperti anak SD. Yeah, kita kan sudah SMA, dan cara berpakaiannya seperti anak SD. Ditambah ia anak super rajin, paling pintar dan anti melanggar aturan sekolah.
Aku memang kenal dia karena kami sekelas dan kebetulan aku duduk di depan Kanya. Tapi kami tidak pernah ngobrol. Bagaimana mau ngobrol kalau tiap istirahat ia selalu ke perpustakaan? Aku berusaha berkonsentrasi pada guru Matematika yang sedang menerangkan rumus Trigonometri, tapi tidak ada yang nyangkut di otakku karena pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut si Culun. Sengaja kujatuhkan pensil dan melihat ke belakang. Tuh kan, dia sama sekali nggak ada dosa setelah berkata begitu, maksudku, lihat saja dia, sedang asyik mencatat rumus-rumus di papan sepeti mendapat mainan baru. Sial!
Kugerakkan kakiku, masih sakit. Aku baru saja mengalami kecelakaan kecil. Oke, bukan kecil sih, tapi kecelakaan yang sangat besar! Kecelakaan sepele yang dapat merusak hidupku! Aku tertabrak truk dan “kebetulan” kaki kananku terlindas sepeda motor yang ku kendarai. Setelah 78 hari di Rumah Sakit aku dapat keluar. Aku di diagnosa terancam tidak dapat main basket lagi. Pelatihku dengan seenaknya memecatku sebagai kapten basket sekolah, dan aku dikeluarkan dari ekskul basket. Basket adalah satu-satunya hal yang membuatku hidup. Dikeluarkan dari klub basket bahkan lebih buruk dari melihat ayahku sendiri berselingkuh dengan perempuan lain saat aku berumur 7 tahun!
Sepertinya aku terlalu banyak melamun, karena tiba-tiba saja bel istirahat berbunyi. Kulihat Kanya dengan cepat melesat ke ruang kelas. Kutebak, dia menuju ke perpustakaan. Kemana lagi? Ia tidak diterima dimanapun di sekolah ini, kecuali tempat guru mungkin. Aku pun ke kantin, Reza mentraktir teman sekelas sebagai pesta aku kembali ke sekolah. Tapi tetap saja tidak mebuatku lebih senang atau apa. Ku pasang wajah palsuku, dan aku pura-pura tersenyum dan tertawa.

***
A-apa? Konyol sekali! Aku merasakan tubuhku ringan. Saking ringannya aku dapat terbang. Dan itu benar-benar terjadi! Ku lihat tanganku, oh ya Tuhan, tanganku tembus! Apa maksudnya? Sesaat aku berharap ini hanyalah mimpi belaka. Tapi aku menayadari dengan cepat, ini nyata! Lihat saja bagaimana batu nisan itu menembusku. Maksudku, aku hanya mengetes saja apakan benar aku ini mimpi. Dan ini ternyata tidak mimpi, dan nyata! Aku menemukan dua fakta yang mengerikan. Pertama aku benar-benar bangun—bukan mimpi, ternyata—dan aku transparan! Tidak terlihat, tidak dapat disentuh. Kedua, aku berada di—ehm—kuburan? Aku lihat segerombolan orang dengan baju serba hitam. Aku menghampiri mereka dan aku menyesali keputusanku. Aku melihat batu nisan itu bertuliskan “Muhammad Arya Pratama”. Apakah ada seseorang yang meninggal dan namanya persis dengan namaku? Aku tercekat, begitu melihat Mamaku—benar-benar mirip Mamaku, dan bisa jadi itu memang Mamaku—menangis dalam pelukan ayah tiriku. Dan aku lihat teman-teman sekelas, anak-anak ekskul basket—termasuk pelatih—dan anak-anak dari kelas lain—hanya beberapa yang kukenal.
Perlahan-lahan, orang per-orangan meninggalkan kuburanku (benarkah ini benar-benar tempat peristirahatan terakhirku?). Kulihat Mama menyebarkan mawar merah di sekitar batu nisan, dan pergi bersama Ayah tiri dengan tersaruk-saruk.
“Ma, ini Arya Ma! Arya belum mati! Ma, Mama bisa liat Arya kan?” aku kalut. Walau aku sudah teriak, Mama tetap berjalan. Sekarang tidak ada lagi siapapun di sini—kecuali aku. Kulihat seorang gadis membawa keranjang bunga berlari menuju kuburan-ku. Dan menyebarkannya dengan asal. Itu Kanya. Sedang apa dia disini? Helloooo, dia bukan salah satu temanku yang menghajar para junior atau bukan salah satu para cewek konyol yang meneriaki namaku saat pertandingan basket.
Kanya berhenti sebentar. Tunggu, ini sungguhan? Kulihat Kanya berhenti tepat di depanku—atau rohku. Matanya terbelalak, mulutnya nyaris terbuka. Kanya sepertinya…. Dapat melihatku?
“A-Arya?” Kanya menutup mulutnya tak percaya, suaranya parau seperti tercekat.
“L-lo…. Bisa liat gue?” Aku ikut tergagap-gagap.
“Jadi, sekarang… Kamu jadi setan?” Ha! Ingin sekali aku menonjoknya, tapi aku transparan—yang anehnya dapat diliat Kanya.
“Jangan asal ngomong ya!”
“Kalau bukan setan, ngapain kamu gentayangan gitu?” Ia membetulkan letak kacamata tebal-nya. “Oke, apapun kamu, aku nggak peduli. Sekarang bisa nggak kamu nggak ngalangin jalanku?”
“Gue transparan, lo nggak bisa liat ya? Lo jalan pun gua bakal tembus!” jawabku seperti orang putus asa. Kanya mengikuti perintahku, ia melewatiku. Dengan mudah.

***
Jadilah aku disini. Di kamar cewek super culun. Karena memang hanya dialah yang dapat melihatku. Aku sekarang ingat, aku tertabrak mobil yang pengendaranya mabuk saat aku menolong seorang anak kecil. Dan aku mati. Tragis banget nggak sih. Dan konyolnya aku menolong seorang anak ingusan dan menukarnya dengan nyawaku!
Tidak perlu kugambarkan bagaimana kamar cewek culun itu. Penuh dengan buku. Dan yang membuatku tercengang adalah ia penggemar band rock barat.
“Nggak nyangka, cewek kayak lo ngoleksi kaset band rock barat,” kataku kagum. Sungguh.
“Emangnya kenapa?” katanya Judes, seperti biasa. Aku mendengus dan berkata, “tau nggak lo kenapa cuma lo yang bisa liat gua? Karena lo yang membuat gua mati penasaran!” kataku, bercanda. Tapi ekspresinya mencengangkan, ia seperti orang kalut, dari guratan alisnya ia seperti berkata “Benarkah?”.
“Eh, maaf, kalau waktu itu aku salah omong. Serius deh, aku cuma nanya nggak ada maksud buat lukain hati kamu. Maaf kalau kamu tersinggung. Karena aku tau, kamu itu suka banget sama basket. Aku liat ekspresi kamu waktu kamu latihan basket. Kamu serius. Sungguh-sungguh. Ekspresi yang nggak pernah kamu perlihatkan ke cewek super cantik di sekolah kita yang kamu pacarin satu-satu.” Buset deh ni cewek, cerewet banget ternyata.
“Ssst! Berisik deh ah. Gua cuma bercanda kok,” kataku, terkekeh. Kanya dengan refleks memukulku, tapi sayangnya melesat. Karena, tentu saja, pundakku tak dapat disentuh. Wajah Kanya memperlihatkan ekpresi prihatin.
***

Jujur, waktu 48 hari itu terasa cepat sekali. Entah kenapa, selama aku masih terbang melayang, transparan dan tidak dapat dilihat—kecuali Kanya—aku merasa senang. Ada Kanya yang bersedia meluangkan waktunya denganku. Ia rela melepas buku tebalnya demi bermain denganku. Aku pun baru tau kalau ada seseorang yang sudah meninggal dan rohnya gentayangan selama 49 hari. Dan itu yang terjadi padaku konyolnya. Kulihat Kanya berekspresi muram.
Malamnya kami—Kanya tepatnya—menyalakan kembang api kecil. Pesta kecil-kecilan sebelum aku pergi.
“Jujur saja, aku belum pernah jatuh cinta pada seseorang. Walau mantanku banyak,” kataku, lalu menaiki pohon tanpa memanjat.
“Aku juga belum. Tapi, akhir-akhir ini aku… Jatuh cinta,” suaranya seperti tercekat.
“Hah? Serius lo? Wah, nggak bilang-bilang.”
“Petasannya udah abis, aku mau tidur,” Kanya memasuki kamarnya dan tertidur dengan pulas. Anehnya, entah kenapa, aku ingin sekali mengelus pipinya atau rambutnya. Sayangnya, baru kusadari, Kanya ternyata cantik, hidungnya bangir, kulitnya putih—karena tidak pernah keluar kecuali sekolah, namanya juga anak kutu buku—bersih. Hanya saja, semua kecantikannya itu ditutupinya dengan kacamata tebal dan rambut kepang culunnya. Aku tersenyum kecil begitu Kanya tertidur pulas.
***
“Ehm, well, sudah waktunya pergi sepertinya.” Kurasakan tanganku memudar, semakin tembus, semakin tak terlihat. Dan aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Kanya menitikkan air matanya.
“Hey, jangan menangis. Kau tau, hal yang aku suka dari kematian ini ada dua. Pertama, aku dapat memasukkan bola basket tanpa aku melompat walau aku tidak bisa memegangnya lagi. Setidaknya aku dapat memasukkan tubuhku ke ring,” candaku. “Kedua, aku dapat bertemu denganmu, lebih dekat denganmu tepatnya.”
Hening. Aku makin transparan, seperti pasir yang tertiup angin.
“Aku.. Jatuh cinta padamu, sebenarnya,” katanya mengejutkanku, ia menunduk. Entah kenapa aku senang mendengarnya. “Kukira kamu hanya pemain basket yang sok, tapi nggak. Kamu sungguh-sungguh.”
“Aku.. Boleh menciummu?” kataku, nyengir. Setelah berkata itu, aku benar-benar tertiup angin. Keberadaanku telah tiada. Aku telah tiada.