Love Can’t Be Old chapt 1: That day…

#Sulli POV
Tawa Donghae Oppa meledak saat aku merengek menolak untuk tidak mengantre wahana Rumah Hantu. Donghae Oppa seharusnya tahu kalau aku benci hantu. Sangat tahu. Leeteuk Oppa cs seakan sepakat untuk menakut-nakutiku, mereka mendorongku untuk masuk ke antrean wahana Rumah Hantu.
“Pengecut banget tau nggak sih,” ejek Kyuhyun Oppa. Mataku melotot, ia terkekeh geli dengan yang lain. Tawanya makin keras saat aku mengancam lompat dari pagar pembatas antrean.
“Baik, kalau Oppa nggak mau membawaku pergi dari antrean konyol ini, aku benar-benar akan lompat.” Kakiku sudah menapak di pagar dan menaruh tanganku di samping kaki kiriku yang bersiap memanjat. Dalam satu gerakan luwes, tangan Donghae Oppa menarik tanganku yang dalam hitungan detik akan bersiap lompat.
“Oke, oke, kita keluar,” kata Donghae Oppa disela-sela tawanya lalu menarikku keluar dari antrean. Menyerobot keluar, melawan arus orang-orang yang hendak antre. Mukaku memerah, aku sadar aku begitu manja pada Donghae Oppa. Donghae Oppa benar-benar berkelakuan seperti Oppa. Ia care dengan siapapun, yang kadang perhatiannya membuatku salah mengartikannya.
“Nah, sudah puas kan, Dongsaengku yang manja,” ia menjawil pipiku. “Nah, kita mau naik apa nih?” lanjutnya.
“Hmm,” aku berpikir, melihat-lihat dan tertarik pada suatu wahana. “Kita main jet coaster saja!” seruku, menarik tangannya untuk masuk antrean jet coaster. Donghae Oppa terlihat ragu, dapat kulihat sebutir keringatnya mengalir di pelipisnya. Masa sih dia takut? Nggak mungkin kan?
“Oppa~” aku melambaikan tanganku ke depan matanya. Membangunkan ia dari lamunannya. “N-Ne, ayo kita kesana,” mata teduhnya terlihat ragu.
“Oppa nggak takut kan?” kataku memastikan. “Apa lebih baik kita naik wahana yang lain?” aku takut menyinggung perasaannya. Aku menyeretnya untuk menjauhi antrean wahana jet coaster.
“A-aniyo, kita naik ini saja. Kau mau naik ini kan?” katanya sambil tersenyum yang dipaksa.

***

“Oppa, kalau takut bilang saja. Jangan dipaksakan. Mianhae, aku tidak tahu kalau Donghae Oppa takut ketinggian,” aku mengelus pundaknya pelan dan memberinya sebotol air mineral. Tangan dan kakinya bergetar. “Mianhae Oppa. Jeongmal mianhae.”
“Ani, kau tidak salah, maaf, aku tidak bisa berkata jujur. Mian.”
“Kalau begitu, mulai sekarang Oppa harus berkata jujur!” Matanya menghadapku. Aku gugup. Matanya yang coklat itu membuat hatiku sejuk.
“Baik, aku akan berkata jujur. Mulai sekarang aku akan berkata jujur,” aku tersenyum, tapi Donghae Oppa malah menatapku serius. “Saranghae.” Kata-katanya terdengar jelas walau Taman Bermain sedang ramai.
“A-Apa? Oppa bilang apa barusan?” tanyaku memastikan. Matanya yang cokelat transparan menatapku lurus-lurus, membuat jantungku berdetak sepuluh kali lebih cepat.
“Aku tahu kau tahu apa yang barusan ku katakan,” katanya pelan. “Bagaimana?” lanjutnya.
“Ba-Bagaimana apanya?” kataku tak kalah pelan, lidahku tercekat. Ia mendengus pelan, mempertahankan kesabarannya.
“Jadi…. Ehm, kau mencintaiku juga?” MWO? Ottohke? Aku mencintai Donghae Oppa. Benar-benar mencintainya. Ia cinta pertamaku. I’m just looking for him.
“N-N-Ne,” kataku pelan, mungkin Donghae Oppa tidak mendengarnya. Bahkan aku tidak dapat mendengar suaraku. Tapi entah bagaimana Donghae Oppa dapat dengan jelas menangkap maksudku. Mungkin pendengarannya sama seperti Lumba-lumba yang dapat mendengar bunyi dibawah 20 Hz.
“Jinjja?” ia mengguncang-guncangkan tubuhku lalu memelukku. “Oppa,” kataku tertahan.
“Ah, mianhae. A-Aku hanya terlalu senang.” Senyumnya teukir di wajahnya.

***

“Saranghae Sulli-ah. Jeongmal saranghae,” katanya setelah ia mengantarku pulang. Aish, Donghae Oppa membuat wajahku memerah. Ia berbalik dan berkata, “Nah, aku pulang dulu ya, jagi.”
Bahunya semakin jauh. Aku berteriak keras, “Oppa! Saranghae! Jeongmal saaaaaaaranghae,” kataku melebih-lebihkan. Ia tersenyum lebar dan pergi.

***

“Jinjja-yoo?” teriak Krystal dan Luna berbarengan. Aku mengangguk kecil. “Uwa, chukkae Sulli-shi. Kau dan Donghae Oppa memang pantas!” Krystal menyalamiku kemudian Luna. BRAK! Pintu terbuka dengan kasar. Amber. “Ya! Amber, Sulli sekarang menjadi yeojachingu-nya Donghae Oppa!” Luna berteriak heboh.
“Aku sudah tahu kok. Memangnya aku tuli saat Sulli berteriak “Saranghae” dengan suara 3 oktaf?” katanya lalu mencomot kripik kentang di tangan Luna. Setelah berkata begitu Amber kemudian mengajak kami ke ruang makan untuk makan malam.

***

“Oppa, kenapa kau suka padaku?” kataku. Aku sedang menemani Oppa latihan dance. Aigo, Donghae Oppa begitu keren saat nge-dance.
“Karna kau begitu rapuh. Aku ingin menjagamu. Tapi aku ingin hanya aku yang menjadi ksatriamu.” Ia mengambil handuk kecil dan mengelap keringatnya. Kya~ rasanya aku ingin mati bahagia. Donghae Oppa melihat jam dinding sekilas dan berkata, “Sudah sore, waktunya kau pulang,” lalu kami berjalan beriringan ke mobil Donghae Oppa.
“Gomawo,” kataku setelah kami sampai. “Ne, cheonmaneyo, jagiya.” Dengan gentleman iaa membukakan pintu mobil untukku. Saat aku membuka gerbang Donghae Oppa memanggilku dengan lembut. Aku menoleh dan, cup~ Bibir Oppa menempel di bibirku sekilas. Aku terpaku.
“Ya! Oppa! Oppa tidak boleh melakukan itu sebelum Oppa berjanji Oppa akan bersamaku selamanya.” Oppa terkekeh dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
“Aku berjanji, aku akan ada di sampingmu untuk selaaaaaaaaamanya,” katanya lalu tertawa.
“Ya sudah, Oppa pulanglah, aku tidak mau namjachingu-ku-untuk-selamanya pulang terlalu malam.” Ia lalu berlari kecil ke mobilnya. Dan mengendarainya pelan, semakin jauh.
Aku mendengar suara mobil saat aku hendak membuka pintu pagar, kupikir itu Donghae Oppa maka aku menghentikan tanganku untuk mendorong pintu pagar. Aku melihat mobil yang tipenya sama sekali berbeda dengan Donghae Oppa dan aku tidak dapat dengan jelas melihat pengendaranya karena kaca film yang hitam.

#Author POV
Dalam sepersekian detik mobil silver yang berada di hadapan Sulli bergerak cepat. Hanya dalam sekerjapan mata, mobil itu menabrak Sulli hingga ia terjengkal. Bagian sudut kanan mobil itu menabrak Sulli. Dengkul kanan Sulli patah karna tabrakan antara Sulli dan mobil. Sulli limbung, ia jatuh dan kepalanya terbentur kotak pos di sebelah kanan pagar. Darah berceceran. Wajah dan bajunya penuh dengan darah. Mobil silver itu langsung tancap gas dan kabur dari TKP. Member f(x) yang mendengar teriakan Sulli bergegas keluar dan terkejut. Mereka memanggil Sulli dan tidak ada repons dari Sulli.

#Sulli POV
BRAK! Dengkulku tertabrak sudut kanan mobil silver itu. Aku limbung dan terbentur kotak pos. Pandanganku memburam. Aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku dengan panik. Aku ingin menyahutnya tapi tidak bisa. Tubuhku tidak dapat bergerak, aku bahkan tidak dapat merasakan tubuhku sendiri. Lalu semuanya menjadi hitam dan gelap.

Dead

Aku tidak dapat merasakan tubuhku. Aku dimana? Pandanganku menghitam. Semuanya buram. Samar-samar kudengar seseorang berteriak, siapa itu? Entah kenapa aku merasa ngantuk sekali. Aku tidak dapat melihat, semuanya menjadi hitam. Ada apa?

***

“Jadi, kamu tidak bisa main basket lagi dong?” pertanyaan itu membuatku kaku. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Sedetik. Dua detik. Akhirnya di menit terakhir, aku pura-pura tersenyum dan menjawab dengan suara parau, “Yaah, mau bagaimana lagi.”
Aku membalikan badan secepatnya. Memangnya siapa dia? Teganya berkata begitu. Aku bahkan tidak kenal dengannya, Kanya Shintiadewi. Lihat saja penampilannya, culun! Kemana-mana ia selalu membawa “properti” lengkap. Kacamata super tebal, buku science fiction yang hanya dibaca oleh kalangan kutu buku seperti dia. Belum lagi cara berpakaiannya, ia meletakkan roknya di perut, baju seragam tidak pernah keluar, seperti anak SD. Yeah, kita kan sudah SMA, dan cara berpakaiannya seperti anak SD. Ditambah ia anak super rajin, paling pintar dan anti melanggar aturan sekolah.
Aku memang kenal dia karena kami sekelas dan kebetulan aku duduk di depan Kanya. Tapi kami tidak pernah ngobrol. Bagaimana mau ngobrol kalau tiap istirahat ia selalu ke perpustakaan? Aku berusaha berkonsentrasi pada guru Matematika yang sedang menerangkan rumus Trigonometri, tapi tidak ada yang nyangkut di otakku karena pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut si Culun. Sengaja kujatuhkan pensil dan melihat ke belakang. Tuh kan, dia sama sekali nggak ada dosa setelah berkata begitu, maksudku, lihat saja dia, sedang asyik mencatat rumus-rumus di papan sepeti mendapat mainan baru. Sial!
Kugerakkan kakiku, masih sakit. Aku baru saja mengalami kecelakaan kecil. Oke, bukan kecil sih, tapi kecelakaan yang sangat besar! Kecelakaan sepele yang dapat merusak hidupku! Aku tertabrak truk dan “kebetulan” kaki kananku terlindas sepeda motor yang ku kendarai. Setelah 78 hari di Rumah Sakit aku dapat keluar. Aku di diagnosa terancam tidak dapat main basket lagi. Pelatihku dengan seenaknya memecatku sebagai kapten basket sekolah, dan aku dikeluarkan dari ekskul basket. Basket adalah satu-satunya hal yang membuatku hidup. Dikeluarkan dari klub basket bahkan lebih buruk dari melihat ayahku sendiri berselingkuh dengan perempuan lain saat aku berumur 7 tahun!
Sepertinya aku terlalu banyak melamun, karena tiba-tiba saja bel istirahat berbunyi. Kulihat Kanya dengan cepat melesat ke ruang kelas. Kutebak, dia menuju ke perpustakaan. Kemana lagi? Ia tidak diterima dimanapun di sekolah ini, kecuali tempat guru mungkin. Aku pun ke kantin, Reza mentraktir teman sekelas sebagai pesta aku kembali ke sekolah. Tapi tetap saja tidak mebuatku lebih senang atau apa. Ku pasang wajah palsuku, dan aku pura-pura tersenyum dan tertawa.

***
A-apa? Konyol sekali! Aku merasakan tubuhku ringan. Saking ringannya aku dapat terbang. Dan itu benar-benar terjadi! Ku lihat tanganku, oh ya Tuhan, tanganku tembus! Apa maksudnya? Sesaat aku berharap ini hanyalah mimpi belaka. Tapi aku menayadari dengan cepat, ini nyata! Lihat saja bagaimana batu nisan itu menembusku. Maksudku, aku hanya mengetes saja apakan benar aku ini mimpi. Dan ini ternyata tidak mimpi, dan nyata! Aku menemukan dua fakta yang mengerikan. Pertama aku benar-benar bangun—bukan mimpi, ternyata—dan aku transparan! Tidak terlihat, tidak dapat disentuh. Kedua, aku berada di—ehm—kuburan? Aku lihat segerombolan orang dengan baju serba hitam. Aku menghampiri mereka dan aku menyesali keputusanku. Aku melihat batu nisan itu bertuliskan “Muhammad Arya Pratama”. Apakah ada seseorang yang meninggal dan namanya persis dengan namaku? Aku tercekat, begitu melihat Mamaku—benar-benar mirip Mamaku, dan bisa jadi itu memang Mamaku—menangis dalam pelukan ayah tiriku. Dan aku lihat teman-teman sekelas, anak-anak ekskul basket—termasuk pelatih—dan anak-anak dari kelas lain—hanya beberapa yang kukenal.
Perlahan-lahan, orang per-orangan meninggalkan kuburanku (benarkah ini benar-benar tempat peristirahatan terakhirku?). Kulihat Mama menyebarkan mawar merah di sekitar batu nisan, dan pergi bersama Ayah tiri dengan tersaruk-saruk.
“Ma, ini Arya Ma! Arya belum mati! Ma, Mama bisa liat Arya kan?” aku kalut. Walau aku sudah teriak, Mama tetap berjalan. Sekarang tidak ada lagi siapapun di sini—kecuali aku. Kulihat seorang gadis membawa keranjang bunga berlari menuju kuburan-ku. Dan menyebarkannya dengan asal. Itu Kanya. Sedang apa dia disini? Helloooo, dia bukan salah satu temanku yang menghajar para junior atau bukan salah satu para cewek konyol yang meneriaki namaku saat pertandingan basket.
Kanya berhenti sebentar. Tunggu, ini sungguhan? Kulihat Kanya berhenti tepat di depanku—atau rohku. Matanya terbelalak, mulutnya nyaris terbuka. Kanya sepertinya…. Dapat melihatku?
“A-Arya?” Kanya menutup mulutnya tak percaya, suaranya parau seperti tercekat.
“L-lo…. Bisa liat gue?” Aku ikut tergagap-gagap.
“Jadi, sekarang… Kamu jadi setan?” Ha! Ingin sekali aku menonjoknya, tapi aku transparan—yang anehnya dapat diliat Kanya.
“Jangan asal ngomong ya!”
“Kalau bukan setan, ngapain kamu gentayangan gitu?” Ia membetulkan letak kacamata tebal-nya. “Oke, apapun kamu, aku nggak peduli. Sekarang bisa nggak kamu nggak ngalangin jalanku?”
“Gue transparan, lo nggak bisa liat ya? Lo jalan pun gua bakal tembus!” jawabku seperti orang putus asa. Kanya mengikuti perintahku, ia melewatiku. Dengan mudah.

***
Jadilah aku disini. Di kamar cewek super culun. Karena memang hanya dialah yang dapat melihatku. Aku sekarang ingat, aku tertabrak mobil yang pengendaranya mabuk saat aku menolong seorang anak kecil. Dan aku mati. Tragis banget nggak sih. Dan konyolnya aku menolong seorang anak ingusan dan menukarnya dengan nyawaku!
Tidak perlu kugambarkan bagaimana kamar cewek culun itu. Penuh dengan buku. Dan yang membuatku tercengang adalah ia penggemar band rock barat.
“Nggak nyangka, cewek kayak lo ngoleksi kaset band rock barat,” kataku kagum. Sungguh.
“Emangnya kenapa?” katanya Judes, seperti biasa. Aku mendengus dan berkata, “tau nggak lo kenapa cuma lo yang bisa liat gua? Karena lo yang membuat gua mati penasaran!” kataku, bercanda. Tapi ekspresinya mencengangkan, ia seperti orang kalut, dari guratan alisnya ia seperti berkata “Benarkah?”.
“Eh, maaf, kalau waktu itu aku salah omong. Serius deh, aku cuma nanya nggak ada maksud buat lukain hati kamu. Maaf kalau kamu tersinggung. Karena aku tau, kamu itu suka banget sama basket. Aku liat ekspresi kamu waktu kamu latihan basket. Kamu serius. Sungguh-sungguh. Ekspresi yang nggak pernah kamu perlihatkan ke cewek super cantik di sekolah kita yang kamu pacarin satu-satu.” Buset deh ni cewek, cerewet banget ternyata.
“Ssst! Berisik deh ah. Gua cuma bercanda kok,” kataku, terkekeh. Kanya dengan refleks memukulku, tapi sayangnya melesat. Karena, tentu saja, pundakku tak dapat disentuh. Wajah Kanya memperlihatkan ekpresi prihatin.
***

Jujur, waktu 48 hari itu terasa cepat sekali. Entah kenapa, selama aku masih terbang melayang, transparan dan tidak dapat dilihat—kecuali Kanya—aku merasa senang. Ada Kanya yang bersedia meluangkan waktunya denganku. Ia rela melepas buku tebalnya demi bermain denganku. Aku pun baru tau kalau ada seseorang yang sudah meninggal dan rohnya gentayangan selama 49 hari. Dan itu yang terjadi padaku konyolnya. Kulihat Kanya berekspresi muram.
Malamnya kami—Kanya tepatnya—menyalakan kembang api kecil. Pesta kecil-kecilan sebelum aku pergi.
“Jujur saja, aku belum pernah jatuh cinta pada seseorang. Walau mantanku banyak,” kataku, lalu menaiki pohon tanpa memanjat.
“Aku juga belum. Tapi, akhir-akhir ini aku… Jatuh cinta,” suaranya seperti tercekat.
“Hah? Serius lo? Wah, nggak bilang-bilang.”
“Petasannya udah abis, aku mau tidur,” Kanya memasuki kamarnya dan tertidur dengan pulas. Anehnya, entah kenapa, aku ingin sekali mengelus pipinya atau rambutnya. Sayangnya, baru kusadari, Kanya ternyata cantik, hidungnya bangir, kulitnya putih—karena tidak pernah keluar kecuali sekolah, namanya juga anak kutu buku—bersih. Hanya saja, semua kecantikannya itu ditutupinya dengan kacamata tebal dan rambut kepang culunnya. Aku tersenyum kecil begitu Kanya tertidur pulas.
***
“Ehm, well, sudah waktunya pergi sepertinya.” Kurasakan tanganku memudar, semakin tembus, semakin tak terlihat. Dan aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Kanya menitikkan air matanya.
“Hey, jangan menangis. Kau tau, hal yang aku suka dari kematian ini ada dua. Pertama, aku dapat memasukkan bola basket tanpa aku melompat walau aku tidak bisa memegangnya lagi. Setidaknya aku dapat memasukkan tubuhku ke ring,” candaku. “Kedua, aku dapat bertemu denganmu, lebih dekat denganmu tepatnya.”
Hening. Aku makin transparan, seperti pasir yang tertiup angin.
“Aku.. Jatuh cinta padamu, sebenarnya,” katanya mengejutkanku, ia menunduk. Entah kenapa aku senang mendengarnya. “Kukira kamu hanya pemain basket yang sok, tapi nggak. Kamu sungguh-sungguh.”
“Aku.. Boleh menciummu?” kataku, nyengir. Setelah berkata itu, aku benar-benar tertiup angin. Keberadaanku telah tiada. Aku telah tiada.